Sebenarnya saya tidak mengetahui pasti mengapa saya menerima begitu saja tawaran teman kakak saya ketika dia menawari saya pekerjaan sebagai live reporter di salah satu webzine music di Bandung. Sekitar awal bulan April yang saya ingat ketika kakak saya berbicara seperti ini, "geus cokot weh lumayan jang pangalaman". Ya, akhirnya atas dasar ingin mendapatkan pengalaman saya terima begitu saja tawarannya. Liputan pertama saya waktu itu adalah Minimaliste Vol. 5 dan bertempat di Potluck Kitchen yang dimana waktu itu talent yang tampil adalah Homogenic, Elang Eby from Polyester Embassy, dan spaceandmissile. Sampai sekarang sudah ada sekitar 7 music live report yang telah saya liput dan 1 buah Review Album.
Go-Blog
Blog Aing Kumaha Aing

Thursday, June 16, 2011
Slylab
Slylab started out in May 2005. It consists of Dean Genial Iqbal (programming, synth, keyboards) Devita Dwi Ayu Anggraini (voice) dan Muhammad Rayhan Sudrajat (guitar, voice), performing ambient music blended with rather gloomy, dreamy, and darkwave, integrating touches of IDM and glitch adorned with elements of analog guitar, female voice, and male voice, with the latter two functioning either as vocal layers or lead voice.
slylab@gmail.com
Last.fm
Soundcloud
Facebook
Twitter
slylab@gmail.com
Last.fm
Soundcloud
Discography:
V/A Sympathy for Indonesian Music Industry Vol. 1 [2008]
V/A Spaced Off [2008]
Love Will Conquer All E.P [2009]
V/A I Heard Something from the Distance Vol. 1 [2009]
V/A Beyond the Sky [2009]
V/A The Ostend : Emerge [2010]
Singles [2010]V/A I Heard Something in the Distance vol. 6 [2010]
Singles Repackaged [2011] Wednesday, June 15, 2011
Electricity in Jatinangor
Sebenarnya ini bukan mengenai urusan listrik yang sering padam di Jatinangor, melainkan ini sebuah event khusus genre Electronic yang di usung oleh saya dan dosen saya Sandya Maulana. Berdasarkan terhadap kekhawatiran akan eksistensi kami berdua di Jatinangor, event "listrik di Jatinangor" ini dibuat. Event Electronic pertama di Jatinagor ini sendiri di gelar di Cafe Ngeumong Jatinangor 20 Maret 2010 dengan menghadirkan distantyearningalert, Asturiaz, Slylab, Space and Missile, dan International Dateline serta bantuan visual dari teman-teman OpenLabs.
Acara ini memang tidak menyedot perhatian mahasiswa Jatinangor yang kebanyakan berstatus mahasiswa Unpad karena sebagian dari mereka merasa tertipu yang awalnya mereka kira Electricity in Jatinangor ini adalah sebuah usaha sosialisasi untuk PLN yang sering memadamkan listrik seenaknya di Jatinangor. Berhubung semua talent dan penonton yang bermain di Electricity in Jatinangor ini adalah teman-teman sepermainan ya, bisa dibilang ini adalah hanyalah sebuah upaya "ceuyah".
Mungkin tidak banyak yang bisa saya ceritakan soal Electricity in Jatinangor ini, tapi yang pasti diantara penonton yang hadir di Ngeumong Cafe itu ada salah seorang jurnalis Pikiran Rakyat yang juga merupakan mahasiswa Fikom Unpad dan tanpa persiapan yang cukup orang tersebut mewawancarai kami semua.
Kalian bisa baca ulasannya disini
Terima kasih kepada teman-teman dari Asturiaz, Space and Missile, International Dateline, distantyearningalert, Slylab, Galih Su, Cafe Ngeumong, dan teman-teman visual dari OpenLabs. Tanpa kalian Jatinangor tidak akan "berlistrik".
The Axe Effect (Sebuah Analisis Makna)
Semua iklan Axe yang tayang di televisi adalah misteri. Betapa harga pewangi badan khusus pria ini memang tidak seberapa, tapi efeknya sangat berpengaruh terhadap penonton. "Kesan pertama begitu menggoda selanjutnya, terserah anda". Ya, saya ingat betul kalimat itu ketika saya masih duduk di bangku sekolah dasar, kalimat yang sempat meracuni pikiran saya selama beberapa tahun. Namun, setelah saya mendapatkan tugas kuliah untuk meneliti sebuah iklan dan inilah hasilnya, saya telah berhasil menguak misteri yang ada di setiap iklan Axe.
I. Isi
Penelitian ini mencoba menggali secara mendalam bagaimana khalayak memaknai iklan
berdasarkan latar belakang mereka. Penelitian ini bermula dari munculnya iklan Axe yang membuka wacana baru dalam relasi gender antara lelaki dan perempuan dalam media di Indonesia. Iklan yang menjadi acuan adalah empat versi iklan televisi Axe yang mulai diluncurkan pada 1 Juli 2008. Dalam pesan iklannya, Axe mencoba untuk mempersepsikan di khalayak bahwa dengan menggunakan Axe maka lelaki tidak perlu untuk khawatir dalam mendapatkan perempuan karena perempuan yang akan mengejar lelaki pengguna Axe.
Paradigma yang digunakan adalah konstruktivisme dan dilakukan dengan menggunakan
metode kualitatif melalui wawancara mendalam dengan 5 orang informan.
Data tersebut dianalisa dengan analisa tematik untuk melihat persamaan dan perbedaan dari masing-masing informan.
Dari penemuan tersebut peneliti menemukan bahwa iklan Axe disukai oleh informan
karena dianggap menghibur. Namun di temuan tersebut muncul 2 tipe pemaknaan yaitu 4
informan yang memiliki pemaknaan oppositional dan 1 informan yang memiliki pemaknaan dominant. Khalayak yang memiliki pemaknaan oppositional menganggap bahwa dalam iklan Axe relasi gender yang terjadi tidak sesuai dengan pengalaman empiris mereka masing-masing dan mereka tidak setuju dengan konsep yang baru tersebut. Selain itu, mereka menganggap bahwa perempuan yang lebih agresif dalam memulai suatu hubungan adalah perempuan yang menyimpang. Namun di balik resistensi mereka adalah hasil dari konstruksi gender yang tidak adil.
Hal ini dikarenakan perempuan dianggap sebagai pihak yang seharusnya lebih pasif dalam memulai suatu hubungan sehingga perempuan yang mengekspresikan perasaannya kepada lelaki adalah perempuan yang menyimpang, namun lain halnya bila yang demikian adalah lelaki. Hasil ini memperkuat asumsi dalam reception studies bahwa dalam memaknai suatu pesan melalui media khalayak memaknainya secara aktif berdasarkan latar belakangnya masing-masing.
Merek Axe, produknya memang ditujukan bagi pria muda yang fun, menikmati hidup, dan memiliki karakter yang dapat menjadi daya tarik bagi wanita. Melalui aromanya yang khas, Axe ingin memulai suatu tren baru dalam gaya hidup, melalui musik dan dansa yang mewakili anak muda. Gambaran pria dalam iklan Axe sudah memperlihatkan kelompok tertentu metroseksual itu. Salah satu cara untuk mengenal identitas sebuah merek dapat dikenali dari cara mereka mempromosikan barangnya. Biasanya di dalam iklan baik itu TV, koran, ataupun majalah ada pesan yg disampaikan. Para designer lebih menunjukan image produknya daripada produk yang dijual itu sendiri. Seperti dalam iklan-iklan Axe di TV, biasanya menyampaikan pesan bahwa pria-pria yang memakai Axe akan disukai wanita. Cara ini sangat efektif untuk melakukan pendekatan psikologis kepada konsumen. Karena, bila iklan Axe hanya menunjukan produk ini bagus untuk kesehatan & berbau harum atau sebagainya, akan terasa membosankan. Karena itu advertising agency selalu memakai ide yg menarik untuk menciptakan iklan-iklan kreatif. Walaupun, pada dasarnya semua iklan bertujuan komersil.
Sejak lama, iklan Axe selalu menampilkan konstruksi yang berbeda tentang perempuan. Kalau dalam banyak iklan lain perempuan dikonstruksi sebagai sosok yang hampir selalu “pasif” di hadapan laki-laki, iklan Axe secara vulgar dan berlebihan menampilkan sosok perempuan yang agresif di hadapan laki-laki. Kalau kita mencermati berbagai versi iklan parfum tersebut, kita akan melihat sebuah pola yang hampir sama.
Dari dulu sampai sekarang, iklan Axe selalu menampilkan laki-laki dan perempuan sebagai tokohnya. Di dalam iklan tersebut, laki-laki yang digambarkan sebagai pemakai produk Axe akan selalu mendapatkan simpati dari para perempuan cantik yang ditemuinya. Lebih dari itu, laki-laki dalam iklan Axe akan selalu menerima perlakuan agresif dan berlebihan dari para perempuan yang ditemuinya. Perlakuan agresif yang diterima para lelaki dalam iklan Axe, menurut versi si pembuat iklan, adalah karena efek dari pemakaian produk Axe, atau dalam bahasa iklan tersebut: “The Axe Effect”.
Axe sempat meluncurkan iklan baru—yang demi kemudahan sebut saja sebagai—iklan “versi Bundaran HI”. Dibandingkan dengan beberapa iklan sebelumnya, iklan ini memiliki perbedaan yang signifikan. Di dalam iklan versi itu, dilukiskan seorang pria—tentu saja ia memakai Axe—sedang meliput sebuah aksi damai yang pesertanya adalah perempuan di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta. Ketika sedang melaporkan jalannya aksi damai tersebut, tiba-tiba si pria dikerubuti oleh para perempuan peserta aksi dan digambarkan para perempuan tersebut melakukan “penjamahan” terhadap si laki-laki. Iklan kemudian ditutup dengan sebuah pesan pendek: “The Axe Effect” membubarkan aksi damai di Bundaran Hotel Indonesia. Ada dua hal yang membedakan iklan Axe versi ini dengan iklan-iklan produk tersebut sebelumnya. Pertama, model dalam iklan Axe itu semuanya merupakan orang Indonesia, baik si laki-laki maupun para perempuan. Hal ini berbeda dengan model dalam iklan-iklan Axe sebelumnya yang selalu menggunakan model dari negara-negara barat. Perbedaan itu menunjukkan saat ini produsen Axe berpikir bahwa masyarakat kita mulai bisa menerima konstruksi tentang perempuan yang agresif di hadapan laki-laki.
Pemakaian model iklan dari barat pada iklan-iklan sebelumnya menunjukkan saat itu produsen Axe belum berani mengintrodusir gambaran tentang perempuan Indonesia yang agresif karena masyarakat kita belum “siap”. Dibandingkan dengan negara barat, Indonesia memang cenderung lebih tidak bisa menerima keberadaan perempuan yang terlampau agresif.
Kemudian, iklan Axe versi Bundaran HI diformat seolah-olah sebagai berita. Model iklan seperti ini memang sedang menjadi mode bagi para pembuat iklan kita. Berbeda dengan iklan Axe sebelumnya yang selalu diformat dengan narasi iklan “tradisonal”, iklan Axe versi itu bernarasikan seolah-olah ia adalah sebuah liputan berita langsung. Hal ini menunjukkan bahwa iklan tersebut berusaha meyakinkan khalayak bahwa “kebenaran” yang disampaikan iklan tersebut setara dengan “kebenaran” sebuah berita. Artinya, secara tidak langsung, iklan Axe versi itu ingin mengatakan bahwa para perempuan yang menjadi agresif karena adanya “The Axe Effect” adalah sebuah “fakta” yang sama nilainya dengan “fakta” di dalam sebuah berita.
Iklan Axe versi Bundaran HI ternyata tak bertahan lama. Setelah sempat tayang di sejumlah stasiun televisi dan koran, ia tiba-tiba lenyap dan digantikan sejumlah episode dengan versi lain. Versi iklan terbaru yang masih tayang hingga sekarang bisa kita sebut sebagai “versi nomor handphone”. Versi iklan ini memperlihatkan pertemuan antara seorang perempuan yang terpesona pada satu laki-laki tak dikenal yang memakai Axe. Keterpesonaan pada sang laki-laki kemudian mendorong si perempuan memberikan nomor handphone-nya sekaligus mengirim isyarat agar si pria meneleponnya setelah mereka bertemu hari itu.
II. Kesimpulan
Pada titik ini, terlihat benar betapa produsen Axe dengan cepat telah menyesuaikan diri dengan “iklim” Indonesia. Meski masih mengesankan agresivitas, perempuan-perempuan yang ditampilkan dalam iklan terbaru produk itu telah mengalami “adaptasi” dengan kondisi setempat. Tindakan pemberian nomor handphone pada orang tak dikenal memang sebuah tindakan yang imajiner jika kita mencoba membandingkannya dengan kondisi sehari-hari. Tapi sebagai sebuah metafora, tindakan itu “cukup pas”: ia tak terlalu seronok dan berjauhan dengan norma masyarakat serta tetap mengesankan sebuah agresivitas—visi dasar iklan Axe.
Sampai di sini, bisa disebut iklan Axe sebenarnya tetap pada kodrat awalnya: ia secara sadar atau tidak melakukan dekonstruksi terhadap bangunan citra perempuan sebagai sosok yang lembut dan feminin. Namun, berbeda dengan teks sastra yang mencoba melawan konstruksi lama tentang perempuan dengan menghadirkan konstruksi baru, iklan Axe pada dasarnya tak berurusan dengan “perlawanan” apapun. Kalau sejumlah “teks feminis” berusaha membongkar konstruksi lama tentang perempuan dengan tujuan melakukan pembebasan atas perempuan, iklan Axe hanyalah sebentuk provokasi guna mendapat laba. Ia tak berurusan sama sekali dengan pembebasan apapun.
Alih-alih membebaskan perempuan, iklan Axe adalah sebuah teks yang bisa dianggap “merendahkan” perempuan. Iklan Axe bisa disebut sangat bisa gender karena seluruh perspektif yang dipakai dalam iklan itu adalah perspektif laki-laki. Oleh karena itu, iklan Axe adalah iklan yang sepenuhnya mendukung patriarki. Memang, iklan Axe adalah sebuah teks yang hanya ditujukan pada laki-laki—karena produk yang diiklankannya pun hanya khusus buat laki-laki—sehingga kecenderungan bias gender menjadi tak terelakkan. Sebagai sebuah produk, Axe bisa dianggap sebagai produk yang juga merepresentasikan dominasi laki-laki atas perempuan. “The Axe Effect” menjadi sebuah frasa yang sangat patriarkis karena frasa itu menandaskan superioritas laki-laki di atas perempuan.
Perempuan, di dalam iklan Axe, ditempatkan dalam sebuah relasi “ekonomi-politik tanda tubuh”. Di dalam relasi itu, seperti dikatakan Yasraf Amir Piliang, tubuh perempuan dieksploitasi segala potensinya guna menghasilkan tanda atau citra tertentu. Di dalam iklan Axe, citra yang ingin dihasilkan dari eksploitasi agresivitas perempuan adalah citra tentang Axe sebagai “produk penakluk perempuan”. Di dalam iklan tersebut, lagi-lagi perempuan adalah korban eksploitasi.
Perspektif patriarkis dalam iklan Axe, bagi saya, adalah sebuah cara pandang yang telah lama “ketinggalan zaman” Agaknya, para pembuat iklan Axe tak sadar—atau pura-pura tak mau ambil peduli?—bahwa tren dunia sudah lama berubah. Kini, kedudukan perempuan dan laki-laki tak bisa lagi ditempatkan dalam hierarki yang sifatnya bawah-atas. Gelombang feminisme yang melanda dunia seharusnya menjadi lonceng kematian bagi seluruh teks yang masih saja dengan menggebu ingin mempertahankan superioritas laki-laki atas perempuan.
Friday, March 27, 2009
Review United We Rise Vol.3
Ini adalah sekuel ketiga United We Rise. Event ini sendiri adalah hasil kerja keras komunitas musik di Fakultas Sastra Unpad. United We Rise Vol.3 yang digelar di lapangan basket kampus Sastra Unpad Jatinangor dimulai pada pukul 16.00. Ada 20 band yang berpartisipasi diacara kolektifan tiga bulanan ini dengan mendatangkan band dari bermacam genre mulai dari punk pop, grunge, hardcore, screamo, metal dan death metal. Mereka adalah Aorta of Rebecca, Apocalypse Grind, Astrolight, Baby Grunge, Cavant, Dark Terror, Demise, Frutty Jussy, Hopeless Remind, Jersey Holiday, Kingkong Hardcore, My Bad Story, My Ownes, Opium, Painting Pain, Prajurit Mati, Social Syndrome, Suspect, Verkel dan We the People. Yang beruntung menjadi opening act adalah My Bad Story, meskipun penonton masih sepi, namun band punk pop ini bermain maksimal dengan membawakan 1 lagu mereka sendiri dan meng-cover 2 lagu dari band punk pop asal Amerika yang kini telah membubarkan diri, Rufio. Setelah My Bad Story giliran My Ownes membawakan 2 buah lagu dan meng-cover lagu dari Senses Fail. Setelah break maghrib penonton mulai berdatangan dan memenuhi stage. Tak lain adalah Suspect band bergenre metal ini berhasil menarik massa. Dari keseluruhan band-band yang manggung ada satu band yang menarik perhatian saya, yaitu Astrolight band ber-genre electronicpunk/synthpunk ini setelah sekian lama menghilang dari panggung akhirnya strikes back dengan membawakan 3 lagu dan salah satunya adalah Fat Dancer yang pernah masuk chart Funky Indie Nine di radio Ninety Niners Bandung, sebuah lagu yang berisi kritik terhadap orang yang mendiskriminasikan fisik seseorang. Meskipun acara ini dipenuhi oleh massa yang melakukan aksi pogo, diving, moshing dan headbanging namun acara berjalan lancar dengan aman dan tertib. Acara berakhir dengan penutupan oleh Hopeless Remind di pukul 12.30 malam.
Sedikit Review tentang Band Local Favorit Saya, Disconnected or Just DC for Short
Saya sedikit terlambat mengetahui akan keberadaan sebuah band punk pop asal Bandung yang bernama Disconnected. Disconnected adalah Arie Ardiansyah sebagai guitar dan vocal, Panji Muhammad sebagai guitar, vocal, keyboards, Yuda Sarjana sebagai bass, Decil Christianto sebagai drum dan Grahadea Kusuf sebagai synthesizer.
Saya mulai mengenal mereka di awal tahun 2003 dengan membeli kasetnya di kota kembang atas rekomendasi kakak saya. Album mereka yang berjudul Inside-Out yang dirilis oleh My Own Deck dan berisikan 10 lagu dan 1 lagu sebagai bonus track yang dimana lagu tersebut dibantu oleh Bez Gorewitz dari Helm Proyek (wah band ini kemana yah sekarang? Hehe). Band ini mempunyai ciri khas looping dan synthesizer disetiap lagunya dan bisa dibilang Disconnected adalah band punk pop pertama yang memasukkan unsur electronic dilagu-lagu mereka. Panggung pertama mereka yang saya tonton adalah acara bazaar SMA Negeri 8 Bandung di tahun 2003. Disana mereka meng-cover lagu I Feel So dari Boxcar Racer dan membawakan beberapa lagu hits Disconnected. Album Inside-Out ini hanya dirilis dalam bentuk kaset dan terjual habis sebanyak 1000 kopi. Ditahun yang sama, Disconnected ditinggalkan pemain synthesizer mereka, Grahadea Kusuf yang kemudian bergabung dengan band electropop Homogenic.
Beruntung Disconnected masih punya Panji yang masih bisa memainkan synthesizer sehingga ciri khas Disconnected tidak hilang begitu saja sepeniggal Grahadea Kusuf. Ditahun 2003 ini juga Disconnected turut ambil bagian di sebuah kompilasi New Generation Calling bersama Rocket Rockers, Supermand is Dead, Jolly Jumper, The Bahamas, Nudist Island yang dirilis oleh Spills Records. Ditahun 2005 Disconnected merilis single Terkuat di kompilasi The Difference Vol. 1 dibawah bendera Broken Jaws Records bersama Sendal Jepit, Alone at Last, The Marmars, CloseHead, The Sideproject dan yang lainnya. Ditahun 2006 Disconnected meluncurkan album EP mereka Stay Low and Keep Those Feet Moving. Berisikan 6 buah lagu yang dimana dialbum ini Disconnected bermain lebih experimental dengan memadukan genre hardrock dan punk. Stay Low and Keep Those Feet Moving menelurkan sebuah video clip Ego. Album Stay Low and Keep Those Feet Moving ini dirilis oleh records mereka sendiri Heaven Records dengan Panji yang bertindak sebagai producer. Ditahun yang sama Disconnected mengisi sebuah soundtrack untuk film indie yang berjudul GUE (Ga Mau Salah Jalan), disini single Disconnected yang berjudul Glory dijadikan video clip. Ditahun 2007 Disconnected merilis sebuah split EP bareng dengan CloseHead. Berisikan 8 buah lagu, 4 lagu Disconnected dan 4 lagu CloseHead. Meskipun disini Disonnected dan CloseHead merekam lagu-lagu mereka dikamar masing-masing namun, hasilnya tidak mengecewakan untuk ukuran bedroom musician. Album split ini terjual sebanyak 500 kopi.
Selain itu gitaris Disconnected Arie Ardiansyah membuat sebuah VST Plugins yang bernama Aradaz, VST Plugins ini bisa dipakai sebagai ampli di software producer di komputer. Ini membuat Arie Ardiansyah mendapat undangan untuk melakukan sebuah presentasi software yang diadakan oleh OpenLabs dalam acara Nu Subtance 2008 silam di Common Room Network Foundation yang bertempat di jalan Kyai Gede Utama No. 8 Bandung. Dan juga Panji yang merupakan founder Heaven Records juga tengah sibuk mempersiapkan Global Battle of the Bands 2009, yang dimana ini adalah merupakan sebuah band kompetisi dengan level internasional.
Meskipun saya jarang sekali mendapat kesempatan untuk menonton aksi panggung mereka (saya akui hanya hitungan jari saya menonton aksi panggung mereka hehe) namun saya suka dengan band ini. Saya berharap mereka bisa terus melakukan sesuatu yang baru dan bisa menginspirasikan para pendengarnya seperti saya.
Friday, February 27, 2009
Gigs Oh Gigs..
Pada tanggal 06 april 2007 saya bersama teman-teman band saya diajak untuk manggung di sebuah acara kolektifyang bernama Unlimited Distortion. Awalnya saya tidak tahu kalo ternyata panggungnya didalam sebuah studio, jawara music studio tempatnya yang ada dijalan lengkong besar. Sungguh mengejutkan saya dan teman-teman band saya tentunya namun, setelah dipikir-pikir lagi cukup masuk akal juga untuk mengadakan gigs disebuah studio yang memang disaat itu gigs sudah sangat jarang ada diadakan bahkan sampai saat ini juga entah karena sulitnya perijinan atau entahlah saya juga ga tau. Sungguh memprihatikan sekali kota Bandung ini mau nyalurin hobi dan bakat aja masa susahnya minta ampun. Siapakah yang bertanggung jawab atas minimnya gigs dewasa ini? padahal jika kita flashback ke tahun 90an dimana waktu itu hampir seminggu sekali gigs selalu ada di Gor Saparua. Namun sekarang? well, i don't seem to know...
Subscribe to:
Posts (Atom)