Wednesday, June 15, 2011

The Axe Effect (Sebuah Analisis Makna)


Semua iklan Axe yang tayang di televisi adalah misteri. Betapa harga pewangi badan khusus pria ini memang tidak seberapa, tapi efeknya sangat berpengaruh terhadap penonton. "Kesan pertama begitu menggoda selanjutnya, terserah anda". Ya, saya ingat betul kalimat itu ketika saya masih duduk di bangku sekolah dasar, kalimat yang sempat meracuni pikiran saya selama beberapa tahun. Namun, setelah saya mendapatkan tugas kuliah untuk meneliti sebuah iklan dan inilah hasilnya, saya telah berhasil menguak misteri yang ada di setiap iklan Axe.


I. Isi


Penelitian ini mencoba menggali secara mendalam bagaimana khalayak memaknai iklan
berdasarkan latar belakang mereka. Penelitian ini bermula dari munculnya iklan Axe yang membuka wacana baru dalam relasi gender antara lelaki dan perempuan dalam media di Indonesia. Iklan yang menjadi acuan adalah empat versi iklan televisi Axe yang mulai diluncurkan pada 1 Juli 2008. Dalam pesan iklannya, Axe mencoba untuk mempersepsikan di khalayak bahwa dengan menggunakan Axe maka lelaki tidak perlu untuk khawatir dalam mendapatkan perempuan karena perempuan yang akan mengejar lelaki pengguna Axe.
Paradigma yang digunakan adalah konstruktivisme dan dilakukan dengan menggunakan
metode kualitatif melalui wawancara mendalam dengan 5 orang informan.
Data tersebut dianalisa dengan analisa tematik untuk melihat persamaan dan perbedaan dari masing-masing informan.
Dari penemuan tersebut peneliti menemukan bahwa iklan Axe disukai oleh informan
karena dianggap menghibur. Namun di temuan tersebut muncul 2 tipe pemaknaan yaitu 4
informan yang memiliki pemaknaan oppositional dan 1 informan yang memiliki pemaknaan dominant. Khalayak yang memiliki pemaknaan oppositional menganggap bahwa dalam iklan Axe relasi gender yang terjadi tidak sesuai dengan pengalaman empiris mereka masing-masing dan mereka tidak setuju dengan konsep yang baru tersebut. Selain itu, mereka menganggap bahwa perempuan yang lebih agresif dalam memulai suatu hubungan adalah perempuan yang menyimpang. Namun di balik resistensi mereka adalah hasil dari konstruksi gender yang tidak adil.
Hal ini dikarenakan perempuan dianggap sebagai pihak yang seharusnya lebih pasif dalam memulai suatu hubungan sehingga perempuan yang mengekspresikan perasaannya kepada lelaki adalah perempuan yang menyimpang, namun lain halnya bila yang demikian adalah lelaki. Hasil ini memperkuat asumsi dalam reception studies bahwa dalam memaknai suatu pesan melalui media khalayak memaknainya secara aktif berdasarkan latar belakangnya masing-masing.
Merek Axe, produknya memang ditujukan bagi pria muda yang fun, menikmati hidup, dan memiliki karakter yang dapat menjadi daya tarik bagi wanita. Melalui aromanya yang khas, Axe ingin memulai suatu tren baru dalam gaya hidup, melalui musik dan dansa yang mewakili anak muda. Gambaran pria dalam iklan Axe sudah memperlihatkan kelompok tertentu metroseksual itu. Salah satu cara untuk mengenal identitas sebuah merek dapat dikenali dari cara mereka mempromosikan barangnya. Biasanya di dalam iklan baik itu TV, koran, ataupun majalah ada pesan yg disampaikan. Para designer lebih menunjukan image produknya daripada produk yang dijual itu sendiri. Seperti dalam iklan-iklan Axe di TV, biasanya menyampaikan pesan bahwa pria-pria yang memakai Axe akan disukai wanita. Cara ini sangat efektif untuk melakukan pendekatan psikologis kepada konsumen. Karena, bila iklan Axe hanya menunjukan produk ini bagus untuk kesehatan & berbau harum atau sebagainya, akan terasa membosankan. Karena itu advertising agency selalu memakai ide yg menarik untuk menciptakan iklan-iklan kreatif. Walaupun, pada dasarnya semua iklan bertujuan komersil.
Sejak lama, iklan Axe selalu menampilkan konstruksi yang berbeda tentang perempuan. Kalau dalam banyak iklan lain perempuan dikonstruksi sebagai sosok yang hampir selalu “pasif” di hadapan laki-laki, iklan Axe secara vulgar dan berlebihan menampilkan sosok perempuan yang agresif di hadapan laki-laki. Kalau kita mencermati berbagai versi iklan parfum tersebut, kita akan melihat sebuah pola yang hampir sama.
Dari dulu sampai sekarang, iklan Axe selalu menampilkan laki-laki dan perempuan sebagai tokohnya. Di dalam iklan tersebut, laki-laki yang digambarkan sebagai pemakai produk Axe akan selalu mendapatkan simpati dari para perempuan cantik yang ditemuinya. Lebih dari itu, laki-laki dalam iklan Axe akan selalu menerima perlakuan agresif dan berlebihan dari para perempuan yang ditemuinya. Perlakuan agresif yang diterima para lelaki dalam iklan Axe, menurut versi si pembuat iklan, adalah karena efek dari pemakaian produk Axe, atau dalam bahasa iklan tersebut: “The Axe Effect”.
Axe sempat meluncurkan iklan baru—yang demi kemudahan sebut saja sebagai—iklan “versi Bundaran HI”. Dibandingkan dengan beberapa iklan sebelumnya, iklan ini memiliki perbedaan yang signifikan. Di dalam iklan versi itu, dilukiskan seorang pria—tentu saja ia memakai Axe—sedang meliput sebuah aksi damai yang pesertanya adalah perempuan di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta. Ketika sedang melaporkan jalannya aksi damai tersebut, tiba-tiba si pria dikerubuti oleh para perempuan peserta aksi dan digambarkan para perempuan tersebut melakukan “penjamahan” terhadap si laki-laki. Iklan kemudian ditutup dengan sebuah pesan pendek: “The Axe Effect” membubarkan aksi damai di Bundaran Hotel Indonesia. Ada dua hal yang membedakan iklan Axe versi ini dengan iklan-iklan produk tersebut sebelumnya. Pertama, model dalam iklan Axe itu semuanya merupakan orang Indonesia, baik si laki-laki maupun para perempuan. Hal ini berbeda dengan model dalam iklan-iklan Axe sebelumnya yang selalu menggunakan model dari negara-negara barat. Perbedaan itu menunjukkan saat ini produsen Axe berpikir bahwa masyarakat kita mulai bisa menerima konstruksi tentang perempuan yang agresif di hadapan laki-laki.
Pemakaian model iklan dari barat pada iklan-iklan sebelumnya menunjukkan saat itu produsen Axe belum berani mengintrodusir gambaran tentang perempuan Indonesia yang agresif karena masyarakat kita belum “siap”. Dibandingkan dengan negara barat, Indonesia memang cenderung lebih tidak bisa menerima keberadaan perempuan yang terlampau agresif.
Kemudian, iklan Axe versi Bundaran HI diformat seolah-olah sebagai berita. Model iklan seperti ini memang sedang menjadi mode bagi para pembuat iklan kita. Berbeda dengan iklan Axe sebelumnya yang selalu diformat dengan narasi iklan “tradisonal”, iklan Axe versi itu bernarasikan seolah-olah ia adalah sebuah liputan berita langsung. Hal ini menunjukkan bahwa iklan tersebut berusaha meyakinkan khalayak bahwa “kebenaran” yang disampaikan iklan tersebut setara dengan “kebenaran” sebuah berita. Artinya, secara tidak langsung, iklan Axe versi itu ingin mengatakan bahwa para perempuan yang menjadi agresif karena adanya “The Axe Effect” adalah sebuah “fakta” yang sama nilainya dengan “fakta” di dalam sebuah berita.
Iklan Axe versi Bundaran HI ternyata tak bertahan lama. Setelah sempat tayang di sejumlah stasiun televisi dan koran, ia tiba-tiba lenyap dan digantikan sejumlah episode dengan versi lain. Versi iklan terbaru yang masih tayang hingga sekarang bisa kita sebut sebagai “versi nomor handphone”. Versi iklan ini memperlihatkan pertemuan antara seorang perempuan yang terpesona pada satu laki-laki tak dikenal yang memakai Axe. Keterpesonaan pada sang laki-laki kemudian mendorong si perempuan memberikan nomor handphone-nya sekaligus mengirim isyarat agar si pria meneleponnya setelah mereka bertemu hari itu.

II. Kesimpulan

Pada titik ini, terlihat benar betapa produsen Axe dengan cepat telah menyesuaikan diri dengan “iklim” Indonesia. Meski masih mengesankan agresivitas, perempuan-perempuan yang ditampilkan dalam iklan terbaru produk itu telah mengalami “adaptasi” dengan kondisi setempat. Tindakan pemberian nomor handphone pada orang tak dikenal memang sebuah tindakan yang imajiner jika kita mencoba membandingkannya dengan kondisi sehari-hari. Tapi sebagai sebuah metafora, tindakan itu “cukup pas”: ia tak terlalu seronok dan berjauhan dengan norma masyarakat serta tetap mengesankan sebuah agresivitas—visi dasar iklan Axe.
Sampai di sini, bisa disebut iklan Axe sebenarnya tetap pada kodrat awalnya: ia secara sadar atau tidak melakukan dekonstruksi terhadap bangunan citra perempuan sebagai sosok yang lembut dan feminin. Namun, berbeda dengan teks sastra yang mencoba melawan konstruksi lama tentang perempuan dengan menghadirkan konstruksi baru, iklan Axe pada dasarnya tak berurusan dengan “perlawanan” apapun. Kalau sejumlah “teks feminis” berusaha membongkar konstruksi lama tentang perempuan dengan tujuan melakukan pembebasan atas perempuan, iklan Axe hanyalah sebentuk provokasi guna mendapat laba. Ia tak berurusan sama sekali dengan pembebasan apapun.
Alih-alih membebaskan perempuan, iklan Axe adalah sebuah teks yang bisa dianggap “merendahkan” perempuan. Iklan Axe bisa disebut sangat bisa gender karena seluruh perspektif yang dipakai dalam iklan itu adalah perspektif laki-laki. Oleh karena itu, iklan Axe adalah iklan yang sepenuhnya mendukung patriarki. Memang, iklan Axe adalah sebuah teks yang hanya ditujukan pada laki-laki—karena produk yang diiklankannya pun hanya khusus buat laki-laki—sehingga kecenderungan bias gender menjadi tak terelakkan. Sebagai sebuah produk, Axe bisa dianggap sebagai produk yang juga merepresentasikan dominasi laki-laki atas perempuan. “The Axe Effect” menjadi sebuah frasa yang sangat patriarkis karena frasa itu menandaskan superioritas laki-laki di atas perempuan.
Perempuan, di dalam iklan Axe, ditempatkan dalam sebuah relasi “ekonomi-politik tanda tubuh”. Di dalam relasi itu, seperti dikatakan Yasraf Amir Piliang, tubuh perempuan dieksploitasi segala potensinya guna menghasilkan tanda atau citra tertentu. Di dalam iklan Axe, citra yang ingin dihasilkan dari eksploitasi agresivitas perempuan adalah citra tentang Axe sebagai “produk penakluk perempuan”. Di dalam iklan tersebut, lagi-lagi perempuan adalah korban eksploitasi.
Perspektif patriarkis dalam iklan Axe, bagi saya, adalah sebuah cara pandang yang telah lama “ketinggalan zaman” Agaknya, para pembuat iklan Axe tak sadar—atau pura-pura tak mau ambil peduli?—bahwa tren dunia sudah lama berubah. Kini, kedudukan perempuan dan laki-laki tak bisa lagi ditempatkan dalam hierarki yang sifatnya bawah-atas. Gelombang feminisme yang melanda dunia seharusnya menjadi lonceng kematian bagi seluruh teks yang masih saja dengan menggebu ingin mempertahankan superioritas laki-laki atas perempuan.

No comments:

Post a Comment